Sekuat apa pun para sais bertahan dari derasnya tekanan transportasi
modern, tetapi tanpa ada dukungan pemerintah setempat, lambat laun
transportasi andalan yang melegenda di Wonosobo ini akan punah, hanya
tinggal kenangan.Kini, nasib dokar bergantung pada dukungan pemerintah
setempat.
Data dari Pemerintah Kabupaten Wonosobo, empat tahun terakhir ini
menunjukkan tren penurunan jumlah dokar. Pada tahun 2009 jumlah dokar
yang terdata 301 dokar, tahun 2010 sebanyak 267 dokar, tahun 2011
sebanyak 230 dokar, dan 2012 terdapat 200 dokar.
Ketua Sais Dokar Kereta Jaya Wonosobo Ngadiyo (51) mengungkapkan, pada
tahun 1980-an jumlah sais dokar di Wonosobo mencapai hingga 600 orang.
Saat ini hanya tersisa sekitar 250 sais. Namun, sejak lima tahun
terakhir ini jumlahnya terus berkurang. Ratusan sais terpaksa memilih
beralih pekerjaan lain.
Jumlah terus menurun.
Lalu, mengapa transportasi ini masih menjadi pilihan rakyat setempat?
Selain karena ikatan emosional yang tercipta antara pelanggan dan sang
kusir atau sais selama puluhan tahun, kondisi alam di Wonosobo yang
sejuk menjadikan warga memilih naik dokar.
Segelintir warga Wonosobo, terutama simbok-simbok (ibu-ibu) yang
berbelanja ke pasar, masih tetap setia dengan dokar. Kendati demikian,
kehadiran mobil dan sepeda motor yang perlahan-lahan menggeser peran
dokar sebagai alat transportasi rakyat ini menjadi ancaman yang terus
membayangi eksistensi dokar.
Dapat Rp 50. Itu pendapatannya masih kotor karena mesti dikurangi
makanan kuda sekitar Rp 10.000 sudah untung. Kadang sehari cuma Rp
20.000, kadang bisa sampai Rp 40.000.”Enggak mesti dapat berapa.000
sampai Rp 20.000,” ujar Edi Santoso (31), sais dari Desa Sarwodadi,
Kecamatan Tawangsari.
”Saya pernah dapat piala,” ujar Sukardi menunjukkan lima piala yang
diterimanya sekitar tahun 1980 hingga 1990.Demikian dekatnya dokar
dengan rakyat, sampai-sampai setiap tahun ada lomba cerdas cermat khusus
untuk sais dokar.
Bantuan ini untuk kesejahteraan anggota dan istri sais dokar dalam
bentuk usaha ekonomi produktif.Untuk membantu para sais, pada tahun 2001
atau sekitar 12 tahun lalu Pemkab Wononobo pernah memberikan bantuan
stimulan sebesar Rp 150 juta yang diberikan melalui Koperasi Mega Gotong
Royong (Komegoro) yang beranggotakan sais dokar.
Dokar tidak lagi menjadi transportasi utama di Wonosobo.Kini, seiring
berjalannya waktu, dokar pun mulai tergusur. Menurut Sukardi, agar dokar
tetap hidup, ada kesepakatan di antara sais dan sopir angkutan kota,
yakni angkot tidak boleh menarik penumpang di ruas jalan tertentu yang
disepakati sebagai wilayah penumpang dokar.
Jual dokar.
Hingga kini, dokar masih mendapat tempat di hati warga.SELAMA puluhan
tahun dokar atau andong menjadi andalan utama transportasi rakyat di
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Walau harus bersaing ketat dengan
angkutan kota dan ojek, transportasi yang menggunakan tenaga kuda tetap
eksis di kota dingin ini.
Namun, Bupati Wonosobo Kholiq Arief menyebutkan, Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Wonosobo sejak tahun lalu menyiapkan 15 unit dokar yang
beroperasi di kawasan obyek wisata Dieng Plateau pada saat libur hari
raya dan kegiatan-kegiatan pariwisata.Pemkab Wonosobo sendiri hingga
sejauh ini tidak punya program khusus untuk mempertahankan eksistensi
dokar.
”Satu rumah bisa punya dua sampai tiga dokar. Saya bisa menyekolahkan
anak sampai lulus SMA,” katanya. Hampir semua warga menggunakan jasa
dokar. Karena itu, memiliki dokar di zaman itu sangat
menjanjikan.Sukardi (52), sais dokar yang juga pernah menjadi Ketua Sais
Dokar Wonosobo, menyebutkan, di tahun 1980-an dokar Wonosobo mengalami
masa kejayaan. Ketika itu belum ada angkutan umum seperti sekarang.
Bahkan di kampungnya, kelurahan Kalibeber, Kecamatan Mojotengah, ada
lebih dari 25 dokar.
Yang terakhir dokar dan kuda dia jual Rp 6 juta. Sejak dulu ia punya
tiga dokar dan kuda. Namun, lima tahun lalu, Marmo terpaksa menjual dua
dokar beserta kudanya karena pendapatan yang diterima tidak seimbang
dengan biaya perawatan kuda.Derasnya tekanan transportasi modern juga
dirasakan Marmo (63), sais dokar asal Desa Jogoyitnan, Wonosobo, yang
menjadi kusir sejak 1970-an.
Dokar kayak anggang-anggang di kolam, enggak naik enggak turun,”
katanya.”Sekarang banyak hijet (angkutan kota) dan honda (ojek).
Terminal induk buat dokar juga sudah enggak ada.
Di luar alasan itu, bagi sejumlah warga, mereka masih setia dengan dokar
karena ongkosnya tidak jauh beda dengan angkot, yakni sekali jalan
sekitar Rp 2. Jika membawa belanjaan yang banyak, cukup bayar Rp
10.000.000 bisa pakai satu dokar.
”Sekarang kuda kalah sama mesin,” kata Edi, yang saat bertemu Kompas
sedang mangkal di salah satu ujung jalan, tak jauh dari Alun-alun
Wonosobo, beberapa waktu lalu.Edi yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi
sais mengaku dari tahun ke tahun pendapatannya makin tak tentu.
Dokar yang beroperasi malam diberi tanda roda putih dan harus
dilengkapi dengan lentera sebagai penerangan dan lonceng untuk
bel.Saking banyaknya dokar ketika itu, operasional dokar dibagi dua,
yakni pagi sampai sore dan sore sampai malam.
Tempat lain yang menjadi lokasi mangkal dokar adalah Jalan Pasar 1 yang
terletak di Jalan Resimen Wonosobo, serta kompleks Pasar Sapen. Lokasi
Pasar Sapen juga berfungsi sebagai tempat pembuangan kotoran
kuda.”Enggak kuat lagi, lebih baik dilepas,” katanya saat ditemui sedang
mangkal di bagian selatan Pasar Induk Wonosobo, salah satu pangkalan
dokar yang dikenal dengan sebutan Jalan Pasar 2.
Di samping itu, ada upaya-upaya pembinaan dari instansi terkait,
seperti Satpol PP dan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi
Wonosobo, bagi sais dokar dalam rangka ketertiban, baik dalam
menggunakan jalur maupun mendukung kebersihan lingkungan.Setiap tahun,
melalui Badan Lingkungan Hidup, juga dialokasikan anggaran bantuan
kantong kotoran kuda dan sorok untuk membersihkan kotoran kuda bagi
dokar untuk mendukung kebersihan kota.
Selain SIM Dokar, para pemilik sais juga harus mengantongi Surat Izin
Operasional Dokar (SIOD). Dia bahkan dengan bangga menunjukkan surat
izin mengemudi (SIM) dokar yang sudah habis masa berlakunya, yakni
November 2006 lalu.Meski tidak terlalu menjanjikan, Marmo mengaku akan
tetap menjadi sais dokar hingga masa tuanya nanti.
”Kami sudah kenal lama dengan sais-saisnya, jadi tiap belanja ke pasar
lebih enak naik dokar. Lagian kalau naik dokar kan enggak kepanasan,
banyak anginnya,” kata Sriyati (60), warga Wonosobo yang mengaku telah
puluhan tahun pakai dokar.
Kendati demikian, hampir semua para sais dokar mengaku dalam 10 tahun
terakhir, bahkan dalam lima tahun terakhir, jumlah penumpang dokar
menurun drastis. Dampak yang paling dirasakan, pendapatan para sais tiap
hari makin menurun.
Selain memberi wilayah bagi dokar untuk beroperasi di wilayah yang
tidak berebutan dengan angkutan kota, pemerintah setempat diharapkan
membantu para sais setidaknya untuk mendukung operasional koperasi
sais.Bagi Ngadiyo, mati hidupnya transportasi tradisional di Wonosobo
ini juga sangat bergantung pada kepedulian pemerintah.
Beda dengan sekarang, tiga sampai empat tahun baru kembali,” ujarnya.
Dulu saya beli dokar Rp 5 juta sudah dapat yang istimewa, komplet dengan
kudanya. Jalan satu tahun sudah kembali modalnya.Rohim (40), yang
beberapa tahun lalu menekuni pekerjaannya sebagai sais dokar, mengaku
terpaksa melepas pekerjaannya dan memilih menjadi juru parkir di sekitar
Pasar Induk Wonosobo. ”Sekarang susah.
(Sonya Hellen Sinombor)